5 Strategi Ampuh Membuat Konten Storytelling yang Dekat dengan Audiens
Mengapa Storytelling Jadi Kunci?
Di era digital saat ini, konten bertebaran di mana-mana. Mulai dari video TikTok, reels Instagram, hingga artikel blog semua berlomba-lomba mencuri perhatian. Tapi satu hal yang membuat konten menonjol adalah cerita. Bukan hanya tentang apa yang Anda tawarkan, tapi bagaimana Anda menyampaikannya.
Storytelling bukan sekadar teknik bercerita biasa. Ini adalah jembatan emosional antara brand dan audiens. Saat Anda mampu menyisipkan nilai-nilai, emosi, dan pengalaman nyata ke dalam cerita, konten pun terasa lebih hidup, lebih “manusiawi”, dan tentu saja lebih mudah diterima.
Tapi bagaimana caranya membuat storytelling yang benar-benar relate dengan audiens? Berikut 5 strategi yang bisa Anda terapkan sekarang juga.
1. Kenali Siapa Audiens Anda
Langkah pertama sebelum menulis cerita adalah memahami siapa yang Anda ajak bicara. Jangan asal cerita, karena tidak semua cerita cocok untuk semua orang. Anda harus tahu:
- Siapa target audiens Anda? (Usia, gender, profesi, gaya hidup)
- Apa masalah atau kebutuhan utama mereka?
- Apa harapan atau impian mereka?
- Platform mana yang mereka gunakan paling sering?
Contoh: Jika audiens Anda adalah para pebisnis muda di usia 25–35 tahun yang aktif di LinkedIn, gaya penyampaian cerita harus lebih profesional, solutif, dan berbobot. Tapi jika audiens Anda adalah Gen Z yang aktif di TikTok, maka storytelling bisa lebih santai, lucu, bahkan absurd selama tetap nyambung.
Tips praktis: Gunakan tools seperti Google Analytics, survei singkat, atau polling di media sosial untuk memahami audiens Anda lebih dalam.
2. Angkat Cerita yang Nyata dan Personal
Audiens jauh lebih tertarik pada cerita yang terasa nyata dan dekat. Itulah sebabnya cerita yang datang dari pengalaman pribadi atau dari realita sehari-hari cenderung lebih berhasil memicu keterlibatan.
Misalnya, daripada mengatakan, “Gunakan produk ini karena bagus,” Anda bisa bercerita, “Waktu itu kulitku bruntusan parah karena stres kerja. Setelah pakai produk ini selama dua minggu, perubahan kecil mulai terasa.”
Cerita semacam ini:
- Terasa jujur dan autentik
- Menimbulkan empati
- Memancing audiens untuk ikut berbagi pengalaman serupa
Kunci penting: Kejujuran dalam storytelling adalah magnet engagement. Jangan dibuat-buat. Kalau ceritanya fiktif, pastikan tetap masuk akal dan relevan.
3. Gunakan Struktur Cerita yang Jelas: Awal, Konflik, dan Solusi
Setiap cerita yang memikat punya satu kesamaan: struktur yang kuat. Tanpa struktur, cerita bisa terasa datar, bertele-tele, atau malah membingungkan.
Gunakan format klasik storytelling:
Awal → Masalah/konflik → Solusi → Hasil
Contoh:
Awal: “Aku selalu minder setiap kali tampil di depan orang.”
Konflik: “Tiap kali mau presentasi, tanganku dingin dan suara gemetar.”
Solusi: “Akhirnya aku ikut pelatihan public speaking dan rutin latihan di depan kaca.”
Hasil: “Sekarang, aku justru diminta jadi moderator webinar hampir tiap bulan!”
Format ini memudahkan audiens untuk mengikuti alur cerita dan memetik nilai atau pelajaran darinya.
4. Gunakan Bahasa yang Dekat dengan Audiens
Penyampaian cerita sama pentingnya dengan isi cerita. Kalau audiens Anda adalah orang-orang yang terbiasa berbicara santai, maka jangan menggunakan bahasa baku atau terlalu formal. Sebaliknya, jika target Anda adalah kalangan profesional, maka gunakan bahasa yang lebih rapi dan kredibel.
Contoh perbandingan:
- Santai (untuk Gen Z):
“Pernah ngerasa kayak gitu juga? Gue juga. Tapi akhirnya gue nemuin cara simpel biar nggak overthinking tiap malem.” - Profesional (untuk eksekutif):
“Banyak dari kita merasa kewalahan ketika dihadapkan pada keputusan besar. Saya pun pernah mengalami hal yang sama. Hingga akhirnya saya menemukan strategi yang membuat proses pengambilan keputusan lebih efektif.”
Tips tambahan: Sesuaikan gaya bahasa dengan platform. Instagram Story bisa lebih santai dan ringan, sementara LinkedIn lebih cocok untuk storytelling yang informatif dan formal.
5. Ajak Audiens Terlibat: Buka Ruang untuk Interaksi
Cerita terbaik adalah cerita yang mendorong percakapan. Jangan hanya membuat audiens membaca atau menonton, ajak mereka ikut merasakan, merespons, bahkan membagikan pengalaman mereka sendiri.
Bagaimana caranya?
- Tambahkan pertanyaan di akhir konten: “Kamu pernah ngalamin hal kayak gini juga?”
- Ajak audiens berkomentar atau bercerita versi mereka
- Buat polling, kuis, atau tantangan yang berkaitan dengan cerita Anda
Dengan melibatkan audiens, Anda membangun koneksi yang lebih kuat. Bukan hanya konsumsi satu arah, tapi jadi hubungan dua arah yang lebih manusiawi.
Konten Cerita Bukan Sekadar Tren, Tapi Investasi Jangka Panjang
Storytelling yang relate bukan tentang jadi copywriter yang jago bikin kata-kata manis. Ini soal empati, kejujuran, dan keberanian untuk membagikan pengalaman yang mungkin sederhana tapi bermakna.
Ketika cerita Anda mampu menyentuh sisi emosional audiens, maka konten Anda tak sekadar dilihat—tapi diingat. Bahkan, bisa menggerakkan tindakan: membeli produk, membagikan konten, atau menjadi bagian dari komunitas Anda.
Jadi, mulai sekarang, cobalah luangkan waktu untuk mengenal audiens Anda lebih dalam, lalu ceritakan sesuatu yang bisa menyentuh hati mereka.
FAQ: Pertanyaan yang Sering Diajukan
Q: Apakah semua jenis konten harus pakai storytelling?
A: Tidak semua konten harus memakai storytelling. Namun, jika ingin menciptakan dampak emosional dan membangun kedekatan dengan audiens, storytelling sangat disarankan.
Q: Bagaimana cara tahu cerita kita “relate” atau tidak?
A: Lihat dari respons audiens. Jika mereka memberikan komentar, like, atau bahkan membagikan cerita Anda, itu tanda bahwa cerita Anda berhasil menyentuh mereka.
Q: Apakah storytelling cocok untuk brand baru?
A: Sangat cocok. Justru dengan storytelling, brand baru bisa lebih cepat membangun koneksi dengan calon pelanggan, karena terasa lebih personal dibanding hard selling.
Q: Apakah cerita harus selalu pengalaman pribadi?
A: Tidak harus. Anda bisa menggunakan cerita dari pelanggan, teman, atau situasi umum yang relatable, selama cerita tersebut relevan dan sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan.
Q: Berapa panjang ideal untuk konten storytelling?
A: Tergantung platform-nya. Untuk Instagram, 1–2 paragraf bisa cukup. Untuk artikel blog atau YouTube, Anda bisa membuat versi yang lebih panjang. Yang penting: alurnya jelas dan tidak membosankan.